Asrinesia.com – Penghargaan Akademi Jakarta adalah penghargaan untuk ’pencapaian sepanjang hayat’ di bidang humaniora. Pada tahun 2019 ini Penghargaan Akademi Jakarta diberikan kepada Arsitek Gregorius Antar Awal (Yori Antar) dan sastrawan Umbu Landu Paranggi atas pencapaian sepanjang hayat mereka. Penghargaan ini diberikan atas kegigihan Yori melestarikan arsitektur Nusantara dan penghormatan atas jasa Umbu membina sastra Indonesia selama 50 tahun.
Pemberian Penghargaan Akademi Jakarta 2019 disampaikan Ketua Akademi Jakarta Taufik Abdullah kepada Yori Antar dan Umbu Landu Paranggi yang diwakili putranya, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, (16/12/2019) sore. Juri Penghargaan Akademi Jakarta 2019 terdiri dari Danton Sihombing, Jean Couteau, Maman S Mahayana, Sunaryo, yang diketuai oleh Riris K Toha Sarumpaet.
Yori Antar (57), lulus dari Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia 1989 adalah arsitek yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kekayaan budaya dan kearifan lokal yang tecermin dari arsitektur-arsitektur suku-suku Nusantara. Ia gigih menggali ilmu arsitektur lokal
Yori, memusatkan perhatian dan tenaga kreatifnya pada pelestarian, pemahaman, penggalian, pendokumentasian, dan membangun rumah-rumah adat yang terancam punah dengan menggandeng sponsor serta pihak-pihak yang memiliki kepedulian
Sejak 2008, Yori merintis Gerakan Rumah Asuh yang fokus menciptakan citra baru dari arsitektur lokal sebagai kekayaan budaya bangsa yang khas dan sarat akan kearifan lokal. Di sejumlah tempat, seperti Sumba, Nias, Flores, Kalimantan, Papua, Minangkabau, dan Sumatera Utara, ia gencar membangun kembali rumah-rumah adat yang nyaris punah. Yang terbaru Yori sedang mengadakan pendampingan Suku Dayak Iban di Sungai Utik, untuk bisa mempertahankan karakter, tradisi dan juga kepercayaan tradisional. Nantinya akan di bangun Rumah Panjang (rumah budaya) dan gereja yang nantinya mampu menjadi representasi dari karakter dan tradisi Suku Dayak Iban.
Gerakan Rumah Asuh telah menciptakan citra baru arsitektur lokal sebagai kekayaan budaya bangsa yang khas dan tidak dimiliki bangsa lain di dunia. Gerakan yang melawan arus pasar namun inspiratif itu telah memberi dampak positif dan luas.
Dintaranya, lahirnya rasa bangga masyarakat adat pada kekayaan budayanya sendiri; Tumbuhnya rasa percaya diri pada segala yang lokal dan tradisional yang mempunyai kelebihannya sendiri; Bangkitnya kesadaran bahwa di tengah derasnya arus globalisasi, yang lokal dan tradisional mempunyai tempatnya sendiri: Adanya kemungkinan dipakai sebagai pintu masuk bahan pengayaan pembelajaran di sekolah tentang produk budaya lokal: Sebagai salah satu bahan “merumuskan” kembali konsep kebudayaan Indonesia: Timbulnya ketertarikan mahasiswa jurusan arsitektur (di Indonesia) untuk mempelajari arsitektur tradisional Indonesia; Terbukanya kesadaran arsitek Indonesia akan betapa berharganya arsitektur tradisional Indonesia, dan Terbukanya mata dunia akan potensi kejeniusan arsitektur tradisional Indonesia.
Yori ingin masyarakat Indonesia hidup serta menyadari keindonesiaan dan kekayaan budayanya melalui arsitektur yang secara nyata adalah cerminan diri dan jiwanya, yang lahir dari alam yang membangun dan membesarkannya.
Umbu Wulang Landu Paranggi (76), lahir di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Kuliah di Jurusan Sosiatri, Fakultas Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Hukum, Universitas Janabadra.
Sejak di bangku SMP, puisi-puisinya sudah terbit di media-media nasional. Umbu giat membuat berbagai apresiasi sastra di sepanjang emperan Jalan Malioboro hingga mendapatkan julukan ”Presiden Malioboro”. Bersama sejumlah sastrawan, ia juga mendirikan Persada Studi Klub (PSK) yang kemudian berkembang pesat menjadi wadah apresiasi, kreasi, dan kompetisi para sastrawan muda.
Atas dedikasinya pada dunia kesusastraan, Umbu pernah dianugerahi beberapa penghargaan. Antara lain Anugerah Kebudayaan 2018 dari Fakultas Ilmu Budaya, Univestitas Indonesia, Anugerah Dharma Kusuma 2018 dari Pemerintah Provinsi Bali, Penghargaan Pengabdian pada Dunia Sastra dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan pada tahun 2019. Namun, Umbu tidak pernah mau hadir pada saat penganugerahan penghargaan tersebut. Hingga kini Umbu menetap di Bali dan aktif membina komunitas Jatijagat Kampung Puisi.
Umbu sesunguhnya tidak mencetak barisan penyair, namun memberikan sentuhan puisi kepada jiwa setiap muridnya. Bagi Umbu, menjadi penyair atau bukan, itu adalah soal pilihan hidup. Umbu selalu menekankan, profesi apa pun yang ditekuni murid-muridnya, maka wawasan dan apresiasi puisi wajib hadir dalam diri mereka, sehingga terbit jiwa-jiwa kreatif dalam menjalani kehidupan puisi.